Beberapa waktu lalu, seorang kawan mengatakan kalau di warung kopi kita seperti di kamar mandi. Belakangan aku baru menyadari meski hobiku adalah singgah dari satu warung kopi ke warung kopi yang lain. warung kopi seperti kamar mandi karena di situlah kita melepas pakaian dan segala embel-embel yang melekat (simbol kekuasaan, jabatan, dll) semua bicara dalam nuansa yang santai, tanpa sekat dan rasa sungkan. Suasana egaliter selalu terjaga karena warung kopi adalah sarana gaul dari masa ke masa. Ken Arok di sinyalir menggalang kekuatan politiknya melalui kedai-kedai yang biasa dipakai nongkrong oleh para Begal (perampok), sehingga menjadi medium pembelajaran politik yang melahirhan perebutan kekuasaan yang sukses.
Pada hari ini konteks warung kopi mulai bergeser dalam identitas baru yang disebut kafe, resto, Zone, dll. Namun menurut subjektifku, warung-warung dipinggir jalan masih memberikan sebuah nuansa yang berbeda, akrab, kekeluargaan, anonim,karena tempat yang tidak terpetak-petak. di sinilah orang-orang yang tidak saling mengenal bisa menjalin relasi dan ngomong ngalor-ngidul. Obrolan dapat di mulai kapan saja dengan topik yang beragam, mulai soal dapur tetangga sampai Barak Obama.
Keberadaan warung kopi juga bisa memberikan sebuah wacana tanding baru bagi media yang pelan-pelan mulai terkooptasi oleh sekat-sekat politik dan aliran. Meskipun ruang edarnya tidak seluas media, warung kopi bisa menjadi alternatif bagi ruang demokrasi yang semakin dikebiri. Jalan-jalan sesak dengan baliho Caleg dan Partai, televisi menyajikan gincu-gincu politik yang memerah di bibir para calon presiden. sementara berita banyak dikepras dengan infotainmen yang sibuk mencari celah dan kasak kusuk tentang artis mana yang akan dijadikan tumbal gosip.
Bahkan harian Kompas pernah mengangkat sebuah berita tentang peran warung kopi bagi rekonsiliasi kelompok yang bertikai di Poso, berikut adalah berita yang ditulis oleh Subhan SD, wartawan Kompas di edisi Senin, 25 Juli 2005
"Poso masih identik teror, penembakan misterius, dan bom. Aman tetapi mencekam. Demikian orang Poso melukiskan situasi kotanya. Barangkali hanya di warung kopi warga bisa tenang dan bebas berbicara tanpa sekat etnik dan label agama, serta tanpa perlu diperiksa KTP.
”Di sinilah tempat orang Poso bicara tanpa perlu takut meski berbeda agama,” kata Udin, warga Moengko Baru, Poso Kota, Sulawesi Tengah. Posisi strategis warung kopi semakin penting ketika pasar yang merupakan simbol pertautan dua komunitas yang pernah terbelah itu dijadikan sasaran tembak. Ledakan bom yang terjadi di depan Pasar Sentral Poso tanggal 13 November 2004 dan di depan Pasar Sentral Tentena tanggal 28 Mei 2005 seakan mengubur pasar sebagai peace zone.
Di mana pun warung kopi hampir sama, tetapi di Poso punya makna yang penting dalam proses rekonsiliasi. Dalam kondisi masyarakat yang masih curiga dan terbelah, duduk bersama dalam sebuah ruangan merupakan kesempatan yang cukup mahal.
Ada beberapa warung kopi di Poso, tetapi barangkali hanya satu yang kerap dijuluki sebagai forum demokrasi, yaitu Warung Kopi Simpati, karena di warung kopi itulah hadir semua lapisan masyarakat dari komunitas berbeda. Ada tukang ojek, pedagang, pegawai negeri sipil, pengusaha, karyawan swasta, pejabat, dan ada pula anggota DPRD. Ada orang Islam, ada juga orang Kristen. Mereka datang tanpa atribut, tanpa simbol, dan tanpa perbedaan ".
Nuansa warung kopi jugalah yang mampu mengantar Dono, Kasino, Indro meraih kemampuan financial dan ketenaran di dunia entertainment. Ketika itu pada tahun 1973 di Perkampungan Mahasiswa Universitas Indonesia di Cibubur, sedang berlangsung konsolidasi mahasiswa. Mereka akan menentang rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soeharto. Di sana Kasino, Nanu, dan Rudy Badil yang paling menonjol mengatur acara supaya ramai dan tidak menjenuhkan.
Ide penentangan Tanaka berawal saat berlangsungnya diskusi di UI pada Agustus 1973. Pembicaranya, Subadio Sastrosatomo, Sjaffruddin Prawinegara, Ali Sastroamidjojo dan TB Simatupang. Saat itu mereka mendiskusikan soal peran modal asing.
Dari situlah akhirnya Temmy Lesanpura, mahasiswa UI yang juga Kepala Program Radio Prambors menemui Kasino, Nanu, dan Rudy Badil di dalam acara konsolidasi mahasiswa tersebut. Ia menawari ketiganya untuk mengisi acara radio Prambors. “Mau nggak isi acara di Prambors,” tanya Temmy. Ketiganya setuju. Namun mereka masih bingung apa nama acara itu.
Setelah berdiskusi panjang, akhirnya mereka temukan nama acara itu: ‘Obrolan Santai di Warung Kopi’. September 1973, mereka mulai siaran. Jam siaran setiap hari kamis malam pada jam 20.30 sampai 21.15. Tak ada persiapan apa pun. Ide guyonan selalu ditemukan ketika akan siaran. Dan ceritanya seenaknya saja.
Warung kopi kemudian melejitkan nama Kasino dan kawan2nya, karena format acara yang santai dan sarat dengan nuansa kritik kekuasaan yang terkooptasi modal asing. Meski akhirnya Warkop DKI yang dimotori Dono, Kasino, dan Indro mulai melibatkan diri dalam film2 selera Humor yang sarat nuansa porno dan disinyalir sebagai penyebab komanya film Indonesia era 90-an, warung kopi tetap kokoh menunjukkan perannya sebagai sebuah kawasan demokratis yang belum terlalu di obok-obok oleh intelijen negara. Sangat berbeda dengan kampus2 yang hampir tiap kelasnya di susupi intelijen..warung kopi terlalu cair dan terlalu banyak untuk di mata-matai. dan..ijinkan saya nongkrong dulu di warung kopi,,kapan2 di lanjut lagi..hehe..
2 komentar:
nice blog beib...
luv u..
Berat, aktual, tajam di-blending jadi satu..menjadi sebuah tulisan yang senikmat "kopi Om Jenggot"...
khas pikiran seorang Ade..
Bagus de tulisannya...
kunjungi blog-ku jg ya...
Posting Komentar