PatjarKembara

Analisa Sosial Hal Sepele Yang terjadi Sehari-hari

06.01

Warung Kopi dan Sisa Ruang Demokrasi

Diposting oleh Ade Bagus Kusuma


Beberapa waktu lalu, seorang kawan mengatakan kalau di warung kopi kita seperti di kamar mandi. Belakangan aku baru menyadari meski hobiku adalah singgah dari satu warung kopi ke warung kopi yang lain. warung kopi seperti kamar mandi karena di situlah kita melepas pakaian dan segala embel-embel yang melekat (simbol kekuasaan, jabatan, dll) semua bicara dalam nuansa yang santai, tanpa sekat dan rasa sungkan. Suasana egaliter selalu terjaga karena warung kopi adalah sarana gaul dari masa ke masa. Ken Arok di sinyalir menggalang kekuatan politiknya melalui kedai-kedai yang biasa dipakai nongkrong oleh para Begal (perampok), sehingga menjadi medium pembelajaran politik yang melahirhan perebutan kekuasaan yang sukses.

Pada hari ini konteks warung kopi mulai bergeser dalam identitas baru yang disebut kafe, resto, Zone, dll. Namun menurut subjektifku, warung-warung dipinggir jalan masih memberikan sebuah nuansa yang berbeda, akrab, kekeluargaan, anonim,karena tempat yang tidak terpetak-petak. di sinilah orang-orang yang tidak saling mengenal bisa menjalin relasi dan ngomong ngalor-ngidul. Obrolan dapat di mulai kapan saja dengan topik yang beragam, mulai soal dapur tetangga sampai Barak Obama.

Keberadaan warung kopi juga bisa memberikan sebuah wacana tanding baru bagi media yang pelan-pelan mulai terkooptasi oleh sekat-sekat politik dan aliran. Meskipun ruang edarnya tidak seluas media, warung kopi bisa menjadi alternatif bagi ruang demokrasi yang semakin dikebiri. Jalan-jalan sesak dengan baliho Caleg dan Partai, televisi menyajikan gincu-gincu politik yang memerah di bibir para calon presiden. sementara berita banyak dikepras dengan infotainmen yang sibuk mencari celah dan kasak kusuk tentang artis mana yang akan dijadikan tumbal gosip.

Bahkan harian Kompas pernah mengangkat sebuah berita tentang peran warung kopi bagi rekonsiliasi kelompok yang bertikai di Poso, berikut adalah berita yang ditulis oleh Subhan SD, wartawan Kompas di edisi Senin, 25 Juli 2005

"Poso masih identik teror, penembakan misterius, dan bom. Aman tetapi mencekam. Demikian orang Poso melukiskan situasi kotanya. Barangkali hanya di warung kopi warga bisa tenang dan bebas berbicara tanpa sekat etnik dan label agama, serta tanpa perlu diperiksa KTP.

”Di sinilah tempat orang Poso bicara tanpa perlu takut meski berbeda agama,” kata Udin, warga Moengko Baru, Poso Kota, Sulawesi Tengah. Posisi strategis warung kopi semakin penting ketika pasar yang merupakan simbol pertautan dua komunitas yang pernah terbelah itu dijadikan sasaran tembak. Ledakan bom yang terjadi di depan Pasar Sentral Poso tanggal 13 November 2004 dan di depan Pasar Sentral Tentena tanggal 28 Mei 2005 seakan mengubur pasar sebagai peace zone.

Di mana pun warung kopi hampir sama, tetapi di Poso punya makna yang penting dalam proses rekonsiliasi. Dalam kondisi masyarakat yang masih curiga dan terbelah, duduk bersama dalam sebuah ruangan merupakan kesempatan yang cukup mahal.

Ada beberapa warung kopi di Poso, tetapi barangkali hanya satu yang kerap dijuluki sebagai forum demokrasi, yaitu Warung Kopi Simpati, karena di warung kopi itulah hadir semua lapisan masyarakat dari komunitas berbeda. Ada tukang ojek, pedagang, pegawai negeri sipil, pengusaha, karyawan swasta, pejabat, dan ada pula anggota DPRD. Ada orang Islam, ada juga orang Kristen. Mereka datang tanpa atribut, tanpa simbol, dan tanpa perbedaan ".


Nuansa warung kopi jugalah yang mampu mengantar Dono, Kasino, Indro meraih kemampuan financial dan ketenaran di dunia entertainment. Ketika itu pada tahun 1973 di Perkampungan Mahasiswa Universitas Indonesia di Cibubur, sedang berlangsung konsolidasi mahasiswa. Mereka akan menentang rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soeharto. Di sana Kasino, Nanu, dan Rudy Badil yang paling menonjol mengatur acara supaya ramai dan tidak menjenuhkan. 

Ide penentangan Tanaka berawal saat berlangsungnya diskusi di UI pada Agustus 1973. Pembicaranya, Subadio Sastrosatomo, Sjaffruddin Prawinegara, Ali Sastroamidjojo dan TB Simatupang. Saat itu mereka mendiskusikan soal peran modal asing. 

Dari situlah akhirnya Temmy Lesanpura, mahasiswa UI yang juga Kepala Program Radio Prambors menemui Kasino, Nanu, dan Rudy Badil di dalam acara konsolidasi mahasiswa tersebut. Ia menawari ketiganya untuk mengisi acara radio Prambors. “Mau nggak isi acara di Prambors,” tanya Temmy. Ketiganya setuju. Namun mereka masih bingung apa nama acara itu.

Setelah berdiskusi panjang, akhirnya mereka temukan nama acara itu: ‘Obrolan Santai di Warung Kopi’. September 1973, mereka mulai siaran. Jam siaran setiap hari kamis malam pada jam 20.30 sampai 21.15. Tak ada persiapan apa pun. Ide guyonan selalu ditemukan ketika akan siaran. Dan ceritanya seenaknya saja. 

Warung kopi kemudian melejitkan nama Kasino dan kawan2nya, karena format acara yang santai dan sarat dengan nuansa kritik kekuasaan yang terkooptasi modal asing. Meski akhirnya Warkop DKI yang dimotori Dono, Kasino, dan Indro mulai melibatkan diri dalam film2 selera Humor yang sarat nuansa porno dan disinyalir sebagai penyebab komanya film Indonesia era 90-an, warung kopi tetap kokoh menunjukkan perannya sebagai sebuah kawasan demokratis yang belum terlalu di obok-obok oleh intelijen negara. Sangat berbeda dengan kampus2 yang hampir tiap kelasnya di susupi intelijen..warung kopi terlalu cair dan terlalu banyak untuk di mata-matai. dan..ijinkan saya nongkrong dulu di warung kopi,,kapan2 di lanjut lagi..hehe..

22.16

Tubuh Yang Narsis

Diposting oleh Ade Bagus Kusuma


Konon pada zaman Yunani kuno ada mitologi yang menceritakan Narcis putra dewa air yang berwajah sangat tampan. Pada suatu perjalanan dia haus dan ingin minum di sebuah sungai yang airnya jernih maka tercerminlah wajahnya yang tampan. Ternyata dia jatuh cinta pada dirinya sendiri dan membanggakan ketampanannya secara berlebihan.

Jaman sekarang, wajah sang putra dewa air itu hadir dan merebak di seantero jagat nusantara. Sarkamen politik telah menggejala dalam sebuah tubuh dan fikiran yang rasis, hadir dalam baliho dan kanal-kanal informasi politik yang sarat muslihat dan irasional. Wabah narsis seakan menggejala disetiap jengkal tanah repulik, mulai dari presiden, mantan presiden, hingga politisi kelas kampung yang paling kampungan sekalipun.

Dalam tradisi politik, simulakra menjadi sebuah gejala ilmiah yang mengekspresikan dunia mimpi dan theater of mind. Menciptakan harapan dan dimensi yang menarik dari sebuah roman, dan roman itu berisi testamen-testamen politik yang mendomimasi ruang-ruang publik. masyarakat tidak lagi membeli kucing dalam karung tapi membeli ikan piranha dalam akuarium, yang ketika dipilih lantas memangsa pemilihnya dengan berbagai motif kecurangan politik dan korupsi.

Jika bicara soal theater of mind, maka ada sebuah perbedaan setting dan penampilan tokoh panggung politik kita, tetapi alur dan cerita hampir sama, bisa ditebak dan sarat aksi tipu-tipu. menganggap penonton sebagai mahluk pasif yang siap di invasi hati dan pikirannya. Lihat saja Es Be Ye, Sutrisno, Bachir, Amin Rais, Prabowo, Wiranto, dan yang paling hot aktor pendatang baru kita Rizal Mallarangeng.

Para politisi ini dengan akting yang pas-pasan (dan menganggap selera akting masyarakat kita pas-pasan), meliuk-liuk didepan kamera dengan mulutnya yang kikuk menghapal naskah. Dengan sebuah Plot yang sama, "Untuk Kesejahteraan Rakyat". Sayangnya analisis ini masih sangat subyektif, maklum belum ada Piala Citra yang bisa mewadahi akting politisi kita, kalaupun ada pasti sangat melelahkan karena hampir sepanjang hari mereka berakting, apalagi ketika didepan wartawan dan media.

Kembali pada Kenarsisan Politisi kita, (mohon maaf saya sebenarnya juga narsis, semoga ini juga menjadi otokritik bagi saya pribadi). Melihat laporan daftar caleg, ada sebuah kejanggalan yang mungkin mengubah sistem pengetahuan kita, ternyata narsis juga menurun secara genetis. Kalau tidak percaya di cek aja di KPU (Komisi Pemilihan Umum), daftar caleg rata-rata dihuni oleh Anak, Paman, Istri, kakak, kakek, dan adik ketua partai. maka jangan heran kalo narsisme politik juga memberi gambaran sebuah Album keluarga yang terpampang melalui poster-poster dan pamflet yang tersebar di jalan-jalan.

Apakah ada yang salah dengan keadaan ini?. kita tidak usah ribet mikir yang aneh-aneh..ikuti aja teori pakar kapitalis kita "selalu ada peluang". Maka gejala narsis kolektif ini harus segera direspon secara agresif oleh dunia usaha, industri percetakan, sablon kaos, Konsultan kampanye, Lembaga survey. Why? karena untuk menjadi narsis jelas butuh banyak biaya, butuh banyak publikasi, dan butuh sebuah pencitraan yang profesional.

Publikasi yang massif tentu bisa dijalankan oleh media dan industri percetakan dan tentu ini akan lebih menggeliatkan sektor riil yang bisa menyelamatkan kita dari krisis global bawaan Amerika. Sementara untuk bisa tampil hebat, terlihat intelek dan berwibawa dibutuhkan seorang konsultan kampanye. Bagaimana cara tersenyum, tertawa, pura-pura empati terhadap kaum papa, ini merupakan garapan konsultan politik apalagi kalo konsultanyya lulusan Amerika,,bisa2 kebanjiran order. Dan yang tidak kalah strategisnya adalah bagi perkembangan Lembaga Survei, Jelas bagi orang2 narsis mengukur popularitas itu luar biasa penting, setidaknya untuk menenangkan hatinya bahwa masyarakat sudah mengaguminya, terlepas dari cara dan metode surveinya.

Narsis telah menjadi sebuah gejala sosial yang merambat dari dimensi pribadi hingga dimensi politik. So, menonton orang-orang narsis beserta atribut kenarsisannya kadang bisa menjadi hiburan tersendiri dan peluang usaha yang menggiurkan. Maka kita harus menciptakan situasi agar kenarsisannya tetap terjaga dan tentu saja..harus menguntungkan kita..haha..
Selengkapnya...

22.13

Yekh Puji, Nafsu Pedofil dan Kerawanan Sosial Anak

Diposting oleh Ade Bagus Kusuma


Gejala apa yang bisa kita simpulkan ketika seorang yang menasbihkan diri sebagai "Syekh Puji" menikahi gadis berusia 12 tahun dan masih akan menikah lagi dengan gadis berusia 8 dan 9 tahun? ataukah anak-anak telah menjadi obyek kerawanan sosial yang akan diamini oleh seluruh lapisan masyarakat, lantaran dinikahi oleh konglomerat yang merangkap "Syekh"?

Beberapa tahun dulu, ada seorang psicho bernama Robot gedek yang memperkosa dan menyodomi anak-anak lelaki di bawah umur. Kemudian di Bali dibekuk Tony, mantan diplomat Australia, boleh dikata merupakan kasus pedofilia kedua yang paling menggegerkan di Indonesia. Kasus Tony itu hampir menyamai "kebesaran" Robot Gedek pada pertengahan tahun sembilan puluhan. Hanya, kelebihan pada kasus Robot Gedek, sejumlah korban, yakni anak-anak usia belasan tahun tewas dibunuhnya. Sementara itu, pada kasus Tony, meski tidak ada korban yang dibunuh, predikatnya sebagai mantan diplomat Australia menyebabkan kasus tersebut mengemuka. Terlebih, hanya berselang sekitar 13 jam setelah divonis, Tony ditemukan gantung diri di selnya, Lapas Kelas II B Karangasem, pada 12 Mei. (www.depsos.go.id)

Di luar Robot Gedek dan Tony, Puji terbilang paling cerdas dalam memanfaatkan kondisi sosial dan realitas budaya masyarakat, sehingga motif dan hasratnya untuk berhubungan seksual dengan anak di bawah umur bisa terpenuhi. Catatan dari badan perlindungan anak internasional memberi tahu bahwa ada jutaan pelecehan seksual anak terjadi di berbagai negara. Perilaku nyeleneh ini bisa masuk dalam kategori perilaku menyimpang secara psikologis. Dalam istilah psichologi bisa disebut sebagai Pedofilia, orang-orang yang terobsesi untuk berhubungan seksual dengan anak-anak.

Akankah hukum mampu menginvestigasi kelakuan Syekh Puji? inillah yang cukup aneh, bahkan ketika media secara blak-blakkan mengungkap perilkau Puji, tak ada aparat yang bertindak padahal sangat jelas terjadi pelanggaran undang-undang perkawinan dan perlindungan anak. Kekuatan ekonomi dan kekuatan politik membuat Puji semakin jumawa, dan ini telah mendarah daging dalam budaya masyarakat kita.

Kelakuan Puji jika dibiarkan bisa menjadi presedent buruk dan Oase baru bagi pelaku Pedofilia. Metode dalil agama dan kekuasaan ekonomi akan ditiru oleh pelaku-pelaku pedofilia yang lain mengingat pelaku kejahatan pedofilia paling intens dan mempunyai beragam cara untuk menjebak mangsanya. secara terminologi, perilaku Puji serasa meludahi muka parlemen kita, pemerintah, dan institusi penegak hukum melihat pelanggaran terhadap undang-undang di geber terang-terangan didepan publik.

Rektor UIN Jakarta, Azumardi Azra berpendapat bahwa secara Fiqih memang diperbolehkan menikahi wanita yang sudah dewasa, dengan tanda menstruasi. tapi UU Perkawinan mengatur bahwa usia menikah perempuan minimal adalah 17 tahun, maka Puji bisa dianggap menikahi anak-anak. Dengan demikian Puji seharusnya bisa dikenai sanksi hukum.

Peristiwa serupa juga pernah terjadi di Texas Amerika ketika Sekte Poligami yang dipimpin oleh Warren Jeff kedapatan memelihara 400 anak yang ketika masa pubertas harus mau berhubungan seksual dengan orang-orang yang sudah punya istri. Warren jeff akhirnya diadili dan di penjara.

Beberapa catatan yang kemudian mengahalangi investigasi kepolisian adalah pihak keluarga tidak merasa keberatan dengan pernikahan tersebut. Jelas dalam sebuah logika sosial tidak ada seorang ayah yang menyerahkan anaknya yang belum cukup umur untuk ditiduri dan dinikahi secara siri oleh lelaki berusia 47 Tahun. Banyak motif yang tersembunyi, sayangya budaya dan respon masyarakat kita terlalu mengagung-agungkan harta dan tahta, ditambah lagi Puji yang menobatkan diri sebagai seorang Syekh, tataran tinggi dalam kasta ulama Islam. Apakah Orang tua Lutfiana Ulfa (Gadis 12 Tahun yang dinikahi) juga terjebak dalam sikap semacam ini? atau ada motif lain dibalik itu? Wallahualam Bissawab...

22.09

Filosofi Dancok

Diposting oleh Ade Bagus Kusuma


Assalamualaikum...

"Dancok!” sebuah referensi semiotika yang kadang membuat seseorang tersinggung mendengarnya. Namun ada pula yang terbukti ampuh menyembuhkan depresi sesaat. Layaknya sebuah kata yang harus memiliki makna untuk bisa dijadikan perangkat komunikasi, dancok mempunyai pretensi sendiri yang kabur dan tak berbatas, bahkan tak bermakna. Ia bisa bermakna bangsat, bajingan, kutu busuk, anjing, keparat,...dan segala konotasi negatifnya. Tapi aku terkadang menggunakannya dalam suasana yang mesra ketika bercanda dengan pacar atau dalam ratapan yang khusuk di jalan-jalan ketika melihat suramnya ibu kota.

Dulu aku pernah merasakan salah yang mencekam,,ketika dancok tiba-tiba muntap dan keluar dari kerongkonganku yang kering. Ibu selalu mendukani aku ketika mengeluarkan kata-kata yang dianggap kotor, aku diam saja tidak berani membantah. Tapi aku sering secara sembunyi-sembunyi menggunakannya, bahkan terkadang dalam hati...aku merasa ada yang nyaman, seperti aku saat bilang astaghfirullah.


Sebagaimana yang aku pelajari dalam semiotika, kata-kata tidak bermakna. Kita yang memberinya makna melalui sosialisasi dan integrasi sosial yang berlalrut-larut dan mengendap. Tapi apa makna Dancok?....apakah ada kontradiksi dalam definisi makna-makna? Jika definisi senantiasa hitam-putih dalam baik-buruk, maka dancok lebih mewakili kata-kata yang terdiskriminasi, terpinggirkan tanpa kita ketahui makna harfiahnya. Mungkinkah kita menghakimi kata-kata tanpa makna?.

Mungkin dancok menjadi kata favorit yang menjadi dzikir spiritual bagi kaum-kaum marjinal semacam abang becak, tukang copet, bromocorah, WTS dan kaum asor abangan. Sama seperti Istighfar yang selalu keluar dari mulut para kyai, pejabat tinggi, kaum intelektual. Maka sampai disini aku semakin yakin,,struktur dan tingkat bahasa kita masih menjadi corak dan karakter sistem sosial kita yang bertingkat dan feodal. Meski aku tetap merasa...dancok tidak punya salah.

Pada perkembangannya, akibat stigma negatif yang terus menempel, dancok mengalami adaptasi kata. Semacam imbuhan dan akhiran dalam bahasa Inonesia. Secara tidak sengaja waktu sedang ngetik di pusat pelacuran murah di wonokromo, aku sempat ngobrol dengan seorang ”mbak-mbak ayu” asal Madura. ”Ayo mas Ngencuk wae...enak lho, murah-murahan”.., ”ndak mbak...saya belum berani” jawabku, ”knapa ndak berani? Ngencuk enak kok, ntar mbak ajari...mbak sabar kok”. Sejenak aku tertegun...bukan oleh tawaran mbak tadi, tapi oleh penggunaan kata ngencuk yang menurut pandanganku berasal dari kata dancuk yang mendapat imbuhan –me. Barangkali artinya ”melakukan hal-hal yang bersifat dancuk-an” atau dengan kata lain melakukan perbuatan asusila berzina.

Perkembangan pisuhan yang melengkapi perkembangan kosa-kata dalam tata bahasa terasa populer, begitu membumi, namun termarginalkan dari struktur tata bahasa sehari-hari. Saya jadi teringat kata-kata fuck dalam budaya populer Amerika dan Eropa. Fuck telah menjadi sebuah rangkaian nada dalam makna-makna yang kurang lebih sama dengan dancok. Pun dalam penggunaannya telah mengalami modifikasi semiotik, imbuhan dan akhiran yang sangat kontekstual. Seperti fuckin, fuck me please (dalam kamus bokep), fuck off, dll…dan serapan dalam bahasa Indonesia juga ada, semacam nge-fuck (mengganti istilah nge-sex) yang searti dengan nge-ncuk.

Begitu ilmiahnya ucapan dancok jika mau dikupas secara harfiah dan sesuai dengan ilmu-ilmu yang melingkupinya. Seperti semiotik, filsafat, sejarah, bahkan geografis..membuat saya semkin tertarik untuk bisa menelusuri labih detail dalam kupasan sosio kultural yang lebih detail. Dan sampai sekarang saya masih merasa...dancok..tidak pernah salah dan tidak patut dihakimi tanpa sebuah analisa yang mendalam. Selamat mengumpat...jika bisa membuat hati menjadi nyaman...

Wassalamualaikum....