Assalamualaikum...
"Dancok!” sebuah referensi semiotika yang kadang membuat seseorang tersinggung mendengarnya. Namun ada pula yang terbukti ampuh menyembuhkan depresi sesaat. Layaknya sebuah kata yang harus memiliki makna untuk bisa dijadikan perangkat komunikasi, dancok mempunyai pretensi sendiri yang kabur dan tak berbatas, bahkan tak bermakna. Ia bisa bermakna bangsat, bajingan, kutu busuk, anjing, keparat,...dan segala konotasi negatifnya. Tapi aku terkadang menggunakannya dalam suasana yang mesra ketika bercanda dengan pacar atau dalam ratapan yang khusuk di jalan-jalan ketika melihat suramnya ibu kota.
Dulu aku pernah merasakan salah yang mencekam,,ketika dancok tiba-tiba muntap dan keluar dari kerongkonganku yang kering. Ibu selalu mendukani aku ketika mengeluarkan kata-kata yang dianggap kotor, aku diam saja tidak berani membantah. Tapi aku sering secara sembunyi-sembunyi menggunakannya, bahkan terkadang dalam hati...aku merasa ada yang nyaman, seperti aku saat bilang astaghfirullah.
Sebagaimana yang aku pelajari dalam semiotika, kata-kata tidak bermakna. Kita yang memberinya makna melalui sosialisasi dan integrasi sosial yang berlalrut-larut dan mengendap. Tapi apa makna Dancok?....apakah ada kontradiksi dalam definisi makna-makna? Jika definisi senantiasa hitam-putih dalam baik-buruk, maka dancok lebih mewakili kata-kata yang terdiskriminasi, terpinggirkan tanpa kita ketahui makna harfiahnya. Mungkinkah kita menghakimi kata-kata tanpa makna?.
Mungkin dancok menjadi kata favorit yang menjadi dzikir spiritual bagi kaum-kaum marjinal semacam abang becak, tukang copet, bromocorah, WTS dan kaum asor abangan. Sama seperti Istighfar yang selalu keluar dari mulut para kyai, pejabat tinggi, kaum intelektual. Maka sampai disini aku semakin yakin,,struktur dan tingkat bahasa kita masih menjadi corak dan karakter sistem sosial kita yang bertingkat dan feodal. Meski aku tetap merasa...dancok tidak punya salah.
Pada perkembangannya, akibat stigma negatif yang terus menempel, dancok mengalami adaptasi kata. Semacam imbuhan dan akhiran dalam bahasa Inonesia. Secara tidak sengaja waktu sedang ngetik di pusat pelacuran murah di wonokromo, aku sempat ngobrol dengan seorang ”mbak-mbak ayu” asal Madura. ”Ayo mas Ngencuk wae...enak lho, murah-murahan”.., ”ndak mbak...saya belum berani” jawabku, ”knapa ndak berani? Ngencuk enak kok, ntar mbak ajari...mbak sabar kok”. Sejenak aku tertegun...bukan oleh tawaran mbak tadi, tapi oleh penggunaan kata ngencuk yang menurut pandanganku berasal dari kata dancuk yang mendapat imbuhan –me. Barangkali artinya ”melakukan hal-hal yang bersifat dancuk-an” atau dengan kata lain melakukan perbuatan asusila berzina.
Perkembangan pisuhan yang melengkapi perkembangan kosa-kata dalam tata bahasa terasa populer, begitu membumi, namun termarginalkan dari struktur tata bahasa sehari-hari. Saya jadi teringat kata-kata fuck dalam budaya populer Amerika dan Eropa. Fuck telah menjadi sebuah rangkaian nada dalam makna-makna yang kurang lebih sama dengan dancok. Pun dalam penggunaannya telah mengalami modifikasi semiotik, imbuhan dan akhiran yang sangat kontekstual. Seperti fuckin, fuck me please (dalam kamus bokep), fuck off, dll…dan serapan dalam bahasa Indonesia juga ada, semacam nge-fuck (mengganti istilah nge-sex) yang searti dengan nge-ncuk.
Begitu ilmiahnya ucapan dancok jika mau dikupas secara harfiah dan sesuai dengan ilmu-ilmu yang melingkupinya. Seperti semiotik, filsafat, sejarah, bahkan geografis..membuat saya semkin tertarik untuk bisa menelusuri labih detail dalam kupasan sosio kultural yang lebih detail. Dan sampai sekarang saya masih merasa...dancok..tidak pernah salah dan tidak patut dihakimi tanpa sebuah analisa yang mendalam. Selamat mengumpat...jika bisa membuat hati menjadi nyaman...
Wassalamualaikum....
Revolusioner
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar